Aku dulu orangnya manja banget, karena terbiasa selalu punya pembantu sejak kecil, punya supir yang bisa mengantar kemanapun. Pertama kali aku hidup di luar negeri, yaitu umur 15 tahun, negara pertama aku tinggal yaitu Perth, Australia, tapi disana aku masih manja banget, ga tau namanya harus cuci piring sendiri setelah makan, untungnya disana aku tinggal bersama kakak2ku, jadi hidup terasa hampir sama, karena banyak yang membantu. tenang,...cerita disini belum "menusuk" ke sumsum tulang belakang.
Dari mulai melahirkan normal, pulang rumah sakit, bangun tiap malam untuk menyusui, mencuci baju anak, mengganti diaper, pergi ke grocery harus nyetir sendiri dari sejak hamil, memasak tiap hari, mencuci piring, mengantar dan menjemput anak sekolah, you name it, semua sendiri, karena suami juga sibuk bekerja, dan hanya membantu saat dia di rumah malam, itupun juga ga tega, karena dia juga udah cape, jadi semua yg berhubungan dengan anak, hanya kedua tanganku yang mengurusnya, makanya benar kalau ibuku bilang anak kamu harus sayang banget sama kamu, karena kamu benar2 yg mengurusnya sendiri, tidak sama seperti waktu aku kecil, ibuku dibantu dengan pembantu dan nenekku.
Tahun 2011, aku melahirkan anakku kedua, yah bedanya memang agak jauh dari anak pertama, karena itu disengaja oleh suamiku, karena melihat aku yg repot dan tidak ada yg membantu, jadi dia ga mau menambah beban dengan anak kedua dengan jarak yang dekat, dia mau ketika anakku yang pertama sudah bisa membantu, barulah kita memiliki anak kedua. Dan ternyata benar, punya anak kedua, tanpa pembantu, wahhh lebih repottt lagi, walaupun yg besar sudah mengerti, tapi tetap saja setiap kali aku mengantar dan menjemput dia ke sekolah, aku harus membawa bayiku yg baru lahir untuk menjemput anakku yg besar, karena ga mungkin ditinggal di rumah sendirian, karena tidak ada orang di rumah.
Pernah suatu kali lagi hujan deras, aku harus menjemput anakku sekolah, dan aku harus memegang payung dengan tangan satu, untuk menutupi anakku yg besar dari hujan yang agak deras, dan tanganku yang satunya lagi menggendong bayiku untuk sampai ke tempat parkir, dan tau sendiri dong di luar negeri itu anak harus ditaruh di car seat belakang dengan seat belt sendiri, jadi aku harus mengantarkan anakku yg besar masuk mobil, kemudian mengantar bayiku ke car seat berikutnya dan memasangkannya di tengah-tengah hujan deras. Pengalaman yang sangat tak terlupakan kehujanan di tengah-tengah mengurus anak, benar kalau orang bilang ibu itu kasihnya besar banget, lebih baik kita yg kehujanan daripada anak-anak.
Dari mulai memasak makanan untuk aku dan anakku yg pertama, dan harus mulai memasak makanan bayi ketika dia udah siap makan makanan utamanya (6 bulan), tapi semua terasa memang tidak terlalu repot, repot yah pasti repot banget, tapi di hati tetap senang dan enjoy doing it, karena aku memang suka banget urus anak sendiri, rasanya PUASSSS bgtt, aku jadi tahu perkembangan anakku sedetil mungkin, aku menjadi satu-satunya orang yg dicari disaat dia nangis, atau membutuhkan, bukan babysitter atau neneknya. Benar yah kata orang kalau kita suka menjalaninya, semua akan terasa lebih ringan.
Tahun 2013 suamiku memutuskan untuk balik ke negara asalnya, Beijing (China), tentunya membawa istri dan anak2nya, sampailah aku disini. Dalam hal mengurus anak, sudah hal yang biasa, karena anakku juga sudah mulai besar, jadi tidak ada yg lebih repot daripada waktu mereka balita, tapi disini banyak sekali aku merasakan Culture Shock , nanti akan kubahas di blog selanjutnya.
Aku dan anak2ku tidak bisa berbahasa mandarin (main language here), terutama anakku yg besar sudah saatnya masuk SD pada saat itu. Kami terbiasa berbicara bahasa Inggris di rumah, karena aku dan suami berbeda negara. dan juga anakku lahir dan besar di America, jadi memang her first language is English, kadang-kadang aku juga berbahasa Indonesia, jadi waktu dia pindah ke Beijing, dia kaget karena tidak mengerti apa yg dibicarakan di sekolah.
Tapi banyak orang bilang anak kecil itu cepet sekali untuk belajar bahasa daripada orang dewasa, bener banget, anakku cuman berapa bulan udah bisa nulis dan baca dalam bahasa mandarin, dan 3 tahun sekolah disini, sekarang udah lancar banget. Sekarang dia lebih mengerti bahasa mandarin daripada bahasa Indonesia, ok this maybe my fault, tapi yah gimana, namanya setiap hari waktunya banyakan di sekolah daripada di rumah, tentunya jadi lebih lancar, tapi tentunya aku akan terus mencoba bicara bahasa Indonesia.
Tapi tentunya tinggal di luar memiliki pengalaman yang berbeda, dan tentunya cara pandang yang sangat berbeda, karena mau ga mau kebudayaan luar juga akan mempengaruhi pola pikir kita sebagai manusia, dan yang tinggal di negara tersebut, bukan hanya orang negara itu sendiri, tapi banyak berbagai kebudayaan yang bercampur, seperti waktu di America, bukan saja hanya orang putih (caucasian), tapi ada orang Mexico (karena negara ini dekat dari America, jadi banyak Mexico yg pindah kesana), ada orang hitam (African American), Middle East kayak Armenian (tau Kim Kardashian dong? hehe), terus tentunya banyak Asianya (Jepang, China, Korea, Filipina), dll. Bisa bayangin dong segitu banyak berbagai kebudayaan bercampur, kalau pola pikiran anda tidak berubah dan tidak bercampur dengan kebudayaan luar, bohong banget, karena pasti pengaruh pola pikir juga menjadi bertambah dari dimana kita tinggal, tentunya akar kita sebagai orang Indonesia juga tetap ada. Makanya kalau orang pernah tinggal di luar negeri lama, pasti cara pikirnya berbeda dengan orang Indonesia asli, itu juga yg kurasakan.
Jadi kalau kamu berencana untuk tinggal di luar tanah air, sebelum membayangkan yang "enak2", tanyalah kepada dirimu sendiri "siapkah menjadi sangat mandiri terutama kalau sudah menikah dan memiliki anak". Tinggal di luar Indonesia, tapi ga ada ruginya kok, malah menurutku adalah pengalaman yang menyenangkan karena seperti bisa melihat "dunia luar", kebiasaan dan kultur2 orang yg sangat berbeda, dan setiap negara tentunya memiliki keunikan ciri khas kebudayaan itu sendiri, menjadikan kita sosok yg lebih unik dan berpikiran lebih luas.